Selasa, 03 Desember 2013

berkunjung di benteng rotterdam


Benteng rotterdam adalah suatu tempat yang terletak di kota makassar,sulawesi selatan. di benteng ini terdapat museum lagaligo yang di dalamnya terdapat beberapa peninggalan-peninggalan sejarah. fort roterdam banyak di kunjungi oleh banyak orang  karna merupakan tempat yang menarik untuk di kunjungi di dalamnya terdapat beberapa macam benda-benda peninggalan sejarah. tempat ini adalah tempat wisata yang terindah di sulawesi-selatan.

Minggu, 01 Desember 2013

fosil yang terdapat di leang-leang


Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil"). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.
Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.
Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.[6]
Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali.[7] Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance.[8][9] Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip , biawak serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden dari  (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh dari . Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis dna untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.



telapak tangan dan babi rusa

Photobucket

Di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan ada sejumlah lokasi wisata yang menarik. Dalam perjalanan kali ini, bersama teman-teman, saya hanya sempat mengunjungi dua lokasi saja yaitu: Leang-Leang dan Taman Wisata Alam Air Terjun Bantimurung.  Dan karena Bantimurung sepertinya sudah lebih sering dibahas, lebih baik kita fokus untuk membicarakan tentang Leang-Leang dengan daya tariknya yang unik.Dalam Bahasa Makassar, Leang-leang berarti liang atau goa, yang dalam hal ini adalah bagian dari  Taman Prasejarah yang layak dikunjungi. Di sekitar pegunungan karst yang terhampar dari kabupaten Maros hingga ke Manado, dan konon adalah yang terpanjang di dunia ini, memang ada banyak sekali ditemukan gua-gua.  Kurang lebih ada sekitar 60 buah gua yang tersebar di kabupaten Maros saja, dan banyak yang belum diselidiki isinya karena lokasinya terletak di bukit terjal dan tegak lurus.

 Leang Leang sendiri konon ditemukan oleh dua arkeolog asal negeri kincir angin, Mister Van Heekeren dan Miss Heeren Palm. Pada tahun 1950 mereka menemukan lukisan pada goa Petta Kere dan Pettae.Berada di komplek Taman Prasejarah itu, kami menyusuri jalanan yang terbuat dari semen, sambil tak henti menikmati uniknya pemandangan di sebelah kiri kanan di mana mencuat batu-batu runcing dengan lubang-lubang horisontalnya, dua buah batu yang tersusun keatas, seolah-olah dikerjakan oleh manusia, padahal semuanya memang sudah begitu sedemikian rupa sejak diketemukannya  lokasi ini.  Tanaman yang ditata rapi di seputar batu-batu tersebut menambah asri pemandangan.  Para ahli sejarah memperkirakan dahulu kala lokasi ini adalah laut yang luas karena terdapat garis-garis air dan erosi di bebatuan di sini, selain itu juga ditemukan adanya fosil kerang yang menempel pada dinding goa Pettae.

Untuk mencapai lokasi goa Petta Kere, kami berjalan melewati sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir anak sungai yang airnya jernih.  Sedangkan untuk masuk ke goa tersebut, kami harus mendaki tangga besi yang lumayan tingginya.  Tetapi hal ini tidaklah menjadi masalah karena terobati dengan keunikan lain di dinding goa, yakni cap telapak tangan lengkap dengan jari-jarinya yang beberapa masih dapat terlihat dengan jelas (beberapa sudah buram).  Selain itu ada dua gambar babi dan rusa berwarna kemerahan di dekatnya.Dari goa Petta Kere, kami menuju ke goa Pettae yang lokasinya berdekatan dan lebih mudah dicapai.  Disini juga terdapat lukisan telapak tangan dan babi, tetapi tidak terlalu jelas.  Lukisan-lukisan purba di kedua goa tersebut diperkirakan mencapai usia 5.000 tahun. Masuk ke dalam gerbang, terdapat pohon-pohon besar yang disebut pohon colok oleh masyarakat setempat.  Disebelah kanan terdapat rumah panggung panjang yang menghadap ke Timur, disini disimpan benda-benda purbakala hasil galian para arkeolog.  Benda-benda ini berasal dari jaman batu karena ada pisau batu, ujung tombak batu, fosil kerang, dan berbagai peralatan, bahkan ditemukan juga tulang rahang manusia lengkap dengan giginya dan taring babi sepanjang telapak tangan orang dewasa.  Bekerja sama dengan para peneliti dari Australia, beberapa benda-benda dibawa ke negeri Kanguru untuk diteliti.Perjalanan dari Makasar ke Leang-Leang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun empat menuju ke kecamatan Bantimurung, kabupaten Maros selama sekitar satu jam perjalanan.  Suasana yang sepi karena bulan puasa membuat kami lebih puas menikmati peninggalan prasejarah ini.

 Pohon-pohon besar yang tumbuh dan ditata rapi menambah keasrian tempat ini. Ada banyak obyek batu-batuan yang seolah-olah menembus bumi menuding langit disela-sela rerumputan yang hijau.  Sebuah komposisi yang menarik untuk diabadikan.  Batu-batuan ini terhampar di berbagai lokasi, tetapi tertata dengan rapi karena adanya jalan yang terbuat dari semen.  Batu-batuan yang tidak terlalu tinggi seperti disatukan dalam satu kelompok, sedangkan batu-batuan yang besar dalam kelompok lain.Karena medannya cukup luas dan tidak terjal, ini memudahkan bagi teman-teman penggemar fotografi untuk mendapatkan sudut pengambilan sesuai selera, yang tentunya disesuaikan dengan arah sinar matahari.Untuk pengambilan gambar di goa-goa sebaiknya menggunakan lensa dengan bukaan yang lebar karena sedikit gelap atau menggunakan flash.

Di luar lokasi Taman Purbakala, yakni di sisi pinggir jalan, terdapat leang-leang burung yang dihuni burung walet.  Kami tidak masuk ke lokasi yang terletak di bukit terjal, di mana kami musti melewati sawah kecil.  Di leang burung tidak ditemukan tanda-tanda bahwa goa ini pernah didiami manusia karena setelah digali sedalam 8 meter hanya ditemukan tulang belulang hewan.
Dibandingkan dengan tempat-tempat wisata alam yang ada di Pulau Jawa, Leang-leang termasuk yang paling bebas dari tangan-tanan jahil.  Kami tidak menemukan adanya coretan-coretan di dinding goa maupun di batu-batu yang ada.  Hanya saja sebagian besar lukisan telapak tangan memang sudah agak pudar, yang menurut pemandu kami, disebabkan banyaknya orang yang menempelkan tangannya di lukisan tersebut.  Semoga tempat ini tetap terpelihara dengan baik dan menjadi perhatian bagi semua pihak baik dinas purbakala maupun masyarakat Indonesia.

Gua telapak tangan di rammang-rammang


Salah satu keunikan kawasan karst Maros adalah banyak dijumpai gua – gua dengan ornamen unik dan sungai bawah tanah. Gua – gua yang terbentuk dari pelarutan batu gamping tidak hanya dapat dijadikan sebagai tempat wisata alam namun merupakan bukti yang menyimpan sejarah kehidupan manusia di zaman purba. Selain Gua prasejarah Leang – Leang, kawasan karst Maros banyak terdapat situs purbakala diantaranya Gua Telapak Tangan.

Sebagai patokan menuju ke gua ini, dari jembatan kayu Rammang – Rammang, kami belok kiri menyusuri jalanan setapak dan melewati pematang sawah. Perjalanan menuju ke Gua Telapak Tangan memakan waktu kurang lebih 45 menit. Untuk mencapai gua, kami harus menaiki beberapa buah anak tangga. Saya tidak sempat menghitungnya. Bekas telapak tangan terdapat di langit – langit gua seukuran tangan anak kecil. Gambar telapak tangan ini hanya berjumlah satu buah saja dengan lima jari yang utuh. Di gua yang berbeda, bekas cap tangan berupa empat jari saja seukuran tangan orang dewasa yang dicat menggunakan tinta merah. Selain gambar telapak tangan, juga terdapat gambar lainnnya yang menyerupai gambar ikan dan tombak.
Dengan perlengkapan senter seadanya kami masuk ke dalam gua. Saya harus menunduk masuk karena pintunya tidak lebih dari satu meter tingginya. Ruang gerak dalam gua ini sempit. Sangat susah untuk berdiri, kami berjalan dengan cara merangkak dan menunduk. Di lantai bawah gua terdapat banyak kolom – kolom yang berdiri tegak sejajar, ada yang berukuran kecil, ada pula yang besar membentuk pilar – pilar dengan stalaktit bergelantungan sebagai atapnya serupa singgasana di bawah tanah.
Di dalam gua terdapat mata air yang membentuk kolam kecil setinggi lutut orang dewasa. Keunikan gua yang ada di wilayah karst yakni stalaktit dan stalakmitnya menyatu, berukuran raksasa dan membentuk kolom. Stalaktit terbentuk dari tetesan air dari langit – langit gua yang mengkristal dan membentuk kerucut. Sedangkan stalakmit adalah batu yang tumbuh ke atas di lantai gua. Proses pembentukan stalaktit dan stalakmit berlangsung selama ribuan tahun. Jika formasi tersebut tumbuh bersama, hasilnya dikenal sebagai kolom. Kolom terbentuk dari stalaktit dan stalakmit yang tumbuh bersamaan dan menyatu membentuk seperti tiang. Kolom – kolom yang ada dalam Gua Telapak Tangan memiliki diameter cukup besar.
Ornamen gua ini sebenarnya tidak bisa di sentuh karena dapat menghambat pertumbuhannya. Stalaktit tumbuh sekitar 3 mm (0,12 inci) per tahun. Minyak atau keringat yang menempel di batu stalaktit atau stalakmit dapat menghambat tumbuhnya batu dan merusak struktur. Fenomena alam seperti ini hanya terjadi dalam gua, sebuah tempat kegelapan abadi.
Tidak banyak orang yang tahu bahkan penduduk lokal pun tidak paham mengenai seluk beluk potensi kawasan karst. Masyarakat setempat perlu diberi informasi bahwa batuan yang telah mengalami pelarutan oleh air hujan dinamakan kawasan karst. Karst Maros termasuk aset internasional karena Karst Maros Pangkep memenuhi kriteria kawasan karst kelas I. Suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai kawasan kelas I apabila berfungsi sebagai kawasan penyimpan air, terdapat gua – gua dan sungai bawah tanah yang aktif, serta gua – gua situs purbakala. Di kawasan ini terdapat lebih dari 100 gua yang memiliki mata air dan beberapa diantaranya merupakan situs prasejarah karena di dalamnya terdapat gambar cap tangan yang dibuat oleh manusia purba.
Karst Maros Pangkep telah diakui oleh dunia internasional dan masuk dalam kategori UNESCO World Heritage (saya juga baru tau). Sebagai warga negara yang baik sudah sepatutnya kita menjaga keseimbangan lingkungan dan ekosistem kawasan karst. Saya turut prihatin dengan pemerintah daerah setempat yang masih memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan kegiatan penambangan di kawasan Rammang – Rammang. Bukit karst yang dulunya cantik semakin hari semakin bopeng akibat banyak galian tambang. Kehidupan masyarakat sekitar pun terusik karena rusaknya sumber mata air dan habitat hewan endemik serta rusaknya beberapa situs purbakala.
Jikalau suatu hari nanti anda atau teman anda berkunjung ke tempat ini, maka nikmatilah panorama alam dan gugusan karstnya yang indah, telusuri jejak prasejarah di dalam guanya, hirup udara segar sepuasnya serta temukan damai dan tenang di penghujung kampung yang dikelilingi bukit karst. Karena belum tentu di masa depan bukit – bukit yang menyerupai menara tersebut masih berdiri kokoh sebelum tergerus habis oleh ulah penambang liar. One thing to remember, jangan buang sampah sembarangan, lestarikan alamnya coz Indonesia itu indah kawan. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menjaga alam pemberian Tuhan..